Vadik dan Kantong Plastik
Vadik Gadelshin, 19 tahun, bermata hijau dan berasal dari Rusia. Dia termasuk peserta Sommerkurs yang paling rupawan, memiliki cara berpakaian yang paling lumayan serta selera humor yang luar biasa, dan disukai banyak wanita.
Vadik sama sekali tidak bisa berbahasa Jerman, Sommerkurs diikutinya bukan karena dia mendapatkan beasiswa melainkan dengan biaya sendiri, sebuah kesalahan yang membuatnya bersama kami.
Melihat kemampuan berbahasanya seharusnya dia berada di level A1, tapi sampai Sommerkurs selesai Vadik tidak pernah dipindahkan dan selama ini hanya Viktoriya Borsch yang menjadi penerjemah antara Vadik dan kami.
Yang menarik, dia tidak pernah memakai tas saat kuliah, melainkan kantong plastik, jika di Indonesia, orang seperti ini pasti tidak pernah bisa masuk kelas, dan yang jauh lebih menarik, kantong plastiknya tidak pernah dia ganti.
Meski tahu bukan urusanku, sifat keindonesiaanku membuatku menegurnya dan memberitahu dia bahwa di negaraku kantong plastik itu untuk membeli buah dan sayuran, dia hanya tersenyum dan menjawab bahwa di negaranya pendidikan tidak dilihat dari apakah orang itu memiliki tas atau tidak.
Kemudian aku memilih untuk tidak lagi menegurnya.
Vadik selalu duduk di sebelahku, karena aku selalu bersama Viktoriya, yang selalu menjadi penerjemahnya, keadaan ini yang membuat aku dan Vadik sering bertukar pikiran, dia pun terpaksa menggunakan bahasa Inggrisnya untuk berbicara denganku.
Selama Sommerkurs dia selalu payah dalam setiap mata kuliah, kecuali sejarah, hingga professor kami heran dan bertanya bagaimana mungkin di usianya yang belia, dia sangat memahami sejarah terutama mengenai peperangan, dengan bahasanya yang terbatas dia menjawab: “Tentu saja, karena saya berasal dari Rusia, kalian pikir siapa yang berada di balik semua peperangan itu? tentu saja kami”, dan kami semua tertawa, dia terlihat begitu polos dan cemerlang saat berbicara, hingga kata ‘perang” terdengar tidak menyeramkan lagi.
Ada hal yang paling berkesan darinya, karena kebetulan musim panas tahun itu bertepatan dengan bulan puasa, aku sering merasa lapar saat mengikuti perkuliahan dan kerap perutku berbunyi.
Sebagai seorang perempuan tentu saja merasa malu dan nampaknya dia menyadarinya, kemudian dengan sedikit terbata-bata dia bicara “Tidak apa-apa Imelissa, perut saya pun sering bunyi ketika merasa lapar”, aku tersenyum, luar biasa, meski konyol dia tahu bagaimana menjaga perasaan orang lain.
Kini Sommerkurs telah berakhir, meski saat ini terpisah mereka tidak akan pernah hilang, karena dalam ingatan kami masih bersama, memiliki tempat yang tidak akan pernah terganti, seperti kenangan Vadik dan kantong plastiknya.
0 komentar:
Posting Komentar